Selasa, 30 Juni 2009

Orang yang Berprinsip adalah Orang yang Perutnya Kenyang

Hari ini saya menemukan pelajaran hidup yang sebenarnya cukup common sense sih untuk orang lain, tapi untuk saya pelajaran ini lumayan memukul gong di perut.



Jadi kakak saya yang di Singapur akan kedatangan bayi yang Insya Allah akan lahir. Nah di keluarga sedang ada issue tentang kewarganegaraan jabang bayi ini, apakah tetap menjadi orang Indonesia atau jadi orang sana.



Sedikit ulasan tentang kakak dan istrinya. Mereka berdua adalah smarty pants yang dari SMP sampai kuliah dibayarin pemerintah Singapur, dan akhirnya mereka jadi terikat ikatan dinas dan harus bekerja untuk perusahaan apapun, yang penting perusahaaan Singapur. Mereka yang dulu dibangga2kan karena berhasil sekolah di sekolah yang "lebih baik" dari sekolah ortunya (dan gratis pula) kini menjadi tki dan tkw asal Jakarta dan Malang. Ya, saat memutuskan menerima beasiswa, gambaran penjajahan bangsa tidak terlihat saat itu. Yang ada hanya syukur Alhamdulillah, ibu gak perlu capek-capek nambah volume cucian demi bayar uang sekolah anak pertamanya.



Tentu dengan gelitikan nasionalisme, semua orang di keluarga menginginkan anak ini tetap jadi orang Indonesia. Namun bila ditimbang2, benefit kalo anak ini jadi Singaporean lebih gede karena dia akan menerima tunjangan dan fasilitas2 yang oke dari pemerintah sana. Jauh lebih besar ketimbang santunan pemerintah Depok yang cuma 2 juta rupiah per warganya. Itupun santunan orang meninggal.



Inilah yang mencubit hati saya. Saya berpikir, kenapa seseorang bisa tega mengorbankan negaranya. Apalagi kalo negaranya sangat membutuhkan dukungan seperti Indonesia. Hmhmm. Yah, ternyata karena kami miskin. Kere cuy.

Karena kami tidak kaya raya mblegedu, tiap ada kesempatan perbaikan hidup, tentunya akan disambar, kapanpun dimanapun apapun bagamanapun. Tentu saja mereka bisa memilih pilihan yang lebih nasionalis, tapi agak males juga yah kalo harus kecempet-cempet kereta ekonomi Jakarta-Bogor, padahal ada tawaran naik MRT yang sejuk.

Jadi kesimpulan saya:
Kalau orang berprinsip itu pasti karena mereka mampu untuk berprinsip. Kehidupan mereka sudah cukup mencukupi, sehingga mereka punya waktu senggang untuk memikirkan prinsip-prinsip hidupnya. Lain sama tukang pepaya yang waktunya tersita untuk muter-muter keliling komplek. "Payaa payaaaa pisaaaang jambuuuu...."




Duh, mudah-mudahan pesan yang gw maksud nyampe ke kamu yang membaca. Semoga semoga.

Minggu, 28 Juni 2009

Pergulatan Dua Manusia dalam Satu Tubuh

Oke, pernahkah anda dimarahi orang tua, intensitas amarahnya tinggi, mungkin gebrak2 meja dikit, nampar2 dikit, terus anda balas berteriak2 membela diri, tapi sambil marah2 itu sebenernya anda fine2 saja? Hmm saya sering seperti ini. Saat bertengkar dengan orang tua, ada seseorang dalam diri saya yang bisa bersenandung lagu2 pop pasar di dalam hati seakan2 saya lagi potong kuku saja. Padahal ada perang kalor di luar tubuh saya, tapi saya yang di dalam tetap merasa seperti berada di kelas Writing 1 yang adem.

Atau saat anda sedang bersenang2 ekstatik orgasmik bersama teman atau kekasih terkasih, lalu tiba2 diri anda mengatakan, wahh hari ini seru juga yahh?

Nah, si pihak dalam diri yang tetap adem ayem saat anda sedang berada di kutub2 emosi, sebenarnya adalah diri anda yang sesungguhnya. Ilmu barat menyebutnya, inner self, higher self, atau saya senang menyebutnya "saya yang sebenarnya".

Jadi orang tersebut adalah ya, diri anda sendiri, bukan malaikat bukan juga setan. Tapi ia adalah diri anda yang SESUNGGUHNYA. "Sesungguhnya" maksud saya adalah orang yang sesuai default factory setting Sang Pencipta. Diri anda yang sempurna sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk tersempurna. Diri anda yang selalu tenang, bahagia, bijak, cerdas, dan sifat-sifat baik lainnya. Hanya saja seiring waktu dan perkembangan otak, diri anda yang satu lagi (pikiran) mengambil alih tubuh dan mengambil alih sistem pemilihan respon-respon diri terhadap rangsangan luar. Pikiran yang seringkali negatif, mengubah diri sehingga akhirnya anda menjadi anda saat ini. Yaitu manusia yang serba berkekurangan dalam kepribadian. Baik terlalu penakut, terlalu merasa dirinya tinggi, terlalu baik, atau terlalu cuek. Semua sifat yang memiliki embel-embel "terlalu" pada manusia adalah buah dari pikiran kita yang mengizinkan kenegatifan masuk.

Contoh:
Saya Titis Pratiwi. Secara default factory setting sang Pencipta, saya diciptakan sebagai orang yang kecantikannya sempurna. Namun seiring perkembangan, saya dengan pikiran saya mulai menyentuh yang namanya majalah, tivi, pergaulan, dan segala bentuk komunikasi lainnya. Sehingga saya melihat orang lain (yang tentunya tingkat kesempurnaan kecantikannya sama dengan saya), dan merasa ada satu atau lebih bagian dari saya yang bentuknya tidak sekeren bagian orang itu. Namun, karena orang yang saya lihat ada banyak, dan tiap orang memiliki satu atau lebih bagian yang lebih sempurna dari saya, akhirnya pikiran saya menganggap bahwa tiap bagian dari saya pasti kalah dengan bagian-bagian lain dari orang lain. Padahal, sesuai dengan kodrat sang Pencipta, kecantikan saya sempurna. Pikiran saya mulai menerima bahwa saya kurang cantik. Dan seiring perkembangan, pikiran saya mengambil alih tubuh saya. Akhirnya dari ujung rambut ke ujung kaki sampai ke ginjal, semua mempercayai bahwa saya tidak secantik orang-orang itu. Dan akhirnya, jadilah kenyataan saya tidak secantik mereka. Karena seluruh tubuh saya sekarang bergerak dan bertingkah laku sesuai pola pikir bahwa saya tidak secantik mereka.

Tapi tetap, "diri saya yang sebenarnya" mengatakan bahwa kecantikan saya sempurna. Sehingga kadang saat saya bertemu pandang dengan diri saya di cermin atau jendela mobil orang, "diri saya yang sebenarnya" tiba-tiba berkata "ah ngga ah, gw ga jelek2 amat." Namun, secara pikiran sudah menjadi rajanya tubuh saya, saat bersanding dengan teman saya yang model, cepat2 perkataan tadi saya ralat.

Itulah pergulatan "diri yang sebenarnya" dengan pikiran. Saya percaya bahwa sang Pencipta itu cukup baik kepada saya, sehingga ia memberikan pengarahan kepada saya melalui "diri yang sebenarnya" itu. Jadi, bila kita sedang negatif, cobalah berlatih diri untuk menyadari keberadaan "diri yang sebenarnya". Dengarkanlah kata-katanya. Biasanya ia suka bergurau-gurau sedikit, tapi semua yang ia ucapkan adalah kenyataan. Dan ia selalu baik, walau kadang perkataannya mungkin menyakitkan. Anggap keberadaannya adalah hadiah dari sang Pencipta yang selalu mencintai kita dan selalu menginginkan yang terbaik untuk kita. Dewasa ini, dunia terlalu dipenuhi dengan pikiran. Pikiran-pikiran yang selalu bilang bahwa kita kurang ini dan kurang itu. Pikiran dapat menghancurkan diri sendiri, kalau pikiran itu negatif.



Enjoy!

Kamis, 25 Juni 2009

Filosofi di Balik Sampo Sachet



pic courtesy of: http://behance.vo.llnwd.net/profiles/78466/projects/112566/784661217434734.jpg

Saya itu sering berganti sampo. Topik yang lumayan gak penting lah ya buat sebuah blog post, tapi saya menemukan salah satu makna hidup di balik kebiasaan itu. Setiap saya mencoba sampo, saya seenak jidat langsung beli yang botolan. Karena saya pikir gambar dan kata-kata di botolnya itu cukup menjanjikan untuk rambut saya. Saya yang selalu langsung percaya sama orang (dan botol sampo), langsung percaya dan membelinya. Tapi apa yang terjadi? Buah semangka tertusuk duri. Setelah pemakaian beberapa minggu, ketauan lah ternyata nggak cocok itu sampo, baik bikin kering, rontok, gak asik, gak cantik, dan kekecewaan-kekecewaan lainnya.

Lalu apa yang saya lakukan dengan sisa sampo yang masih ada. Saya paksa bibik saya pakai itu sampo. Cocok nggak cocok, abisin lah bik. Saya memberinya dengan sedikit bergaya seakan-akan saya memberi si bibik kemewahan dengan sampo itu, padahal saya cuma berusaha membuangnya. Non sense.

Lalu, abis itu saya pakai apa? Biasanya kejadian ini terjadi tengah minggu. Jadi musti nunggu weekendnya dulu untuk ikut mamak belanja beli sampo. Jadi selama sisa minggu, tiap hari saya suruh bibik ke warung membeli sampo sachet. Saya suruh beli 2 sachet yang mana per sachetnya dihargai 500 rupiah. Sehingga berbekal seribu perak, tiap hari sampai weekend si bibik jalan 120 langkah (angka ngasal) ke warung bu ellen atau pak ujang atau om yudho.

Lalu, akan saya pakailah kedua sachet itu secara bersamaan pada rambut saya yang panjang nanggung.

Oke. Terus poinnya apa??

Ternyata saya menemukan sebuah fakta bahwa saya adalah seorang penyombong kelas warung. Yaiks. Karena saya merasa mampu membeli sampo sachet dengan jumlah melebihi yang dibutuhkan, dan saya pakai semuanya secara bersamaan. Wong rambutnya cukup pake satu sachet, saya beli dua! Karena saya mampu! Karena saya kaya! Hahahaaa..

Ada sebuah rasa kepuasan dalam melakukan hal ini. Saya bisa menyombong bahwa saya mampu beli sesuatu berlebih-lebih. Walau yang tau cuma bibik saya (Dan sekarang lo yang baca juga jadi tau, karena gw pengumbar diri sejati). Saya merasa seperti istrinya david Beckham yang membeli tas manohara. Tas Hermes itu, disukai oleh Victoria Beckham, sehingga ia datang ke tokonya dan bilang, "Saya kaya, saya mau beli tas manohara ini. Tapi saya gak cukup cuma punya satu, saya mau beli semua warna di toko ini, karena saya mampu. Ikutin warna pelangi ya mas!"

Cool.. Kesombongan saya dengannya ternyata sama. Ternyata saya berada pada tingkat kemanusiaan yang sama dengan Victoria Beckham. Dia bisa menghambur-hamburkan beli tas Hermes dengan jumlah yang lebih dari kebutuhan, saya juga bisa beli sampo sachet berlebih-lebih.

Terus sekarang gimana dong? Apakah dengan nulis entry ini, gw jadi sadar bahwa pemakaian sampo berlebih gw itu mubazir? Apakah gw jadi sadar bahwa uang gopek yang kelebihan itu sebenernya bisa disumbangin ke anak jalanan? Apakah gw jadi sadar bahwa masih banyak anak Indonesia yang kecukupan konsumsi susu sapinya kurang? Apakah gw jadi sadar bahwa entry kali ini nyampahnya gak kira-kira?

Nggak, gw ga sadar.


YOU SON OF A MASOCHIST!!








Yes, believe it or not, you are!! Why do I say so? Because being a masochist is a basic humanly human characteristic. So, if you're parents are real humans, they surely have traces of this pityful trait. And since they're seeds met and combined and then spawned into you, you actually inherited it too. That makes you a masochist by nature.

For those who don't now what a masochist is:::

mas·och·ism (ms-kzm)
n.
1. The deriving of sexual gratification, or the tendency to derive sexual gratification, from being physically or emotionally abused.
2. The deriving of pleasure, or the tendency to derive pleasure, from being humiliated or mistreated, either by another or by oneself.
3. A willingness or tendency to subject oneself to unpleasant or trying experiences.

masoch·ist n.
masoch·istic adj.
masoch·isti·cal·ly adv.




As seen on the above definitions which I'm quite sure you didn't read, a masochist is a person who sees pain as pleasure. Even though the above explanations are linking this masochism thing as something sexual, I smarty-pantedly can also link this to the "love phenoonema" that has been going on through my friends on my friend list, both on facebook and the real world.

So, a lot of my friends did all these things that indicates them being in a love trouble or some sort (let's call it galau from now on), referring to a note made by this good friend of mine, who is also in a state of galau. So, she said that these dudes and dudettes did the following things:
- listen to mellow songs
- put mellow status on facebook
- thinking of their lover over and over, thus, getting lack of sleep
- making love poems
- write notes on facebook on how tortured they feel on love

Well, my friend there showed the symptoms of this galauness. Well, what I see is that those things my friends did were a clear prove that they truly are a masochist.

I got friends complaining about how this galau thing just troubles their life and how they wish it would go away, but I think they actually kinda enjoyed it.

Lets compare you and this galau thing to a hand and a hot fire. If you put your hand in a fire by accident, you will pull your hand right away, because fire is painful on your skin. But if you feel this galau thing, you don't want to pull away. You still want to stay on that bed waiting till dawn, listening to those ballads, and be galau every second of those times. You want to stay like that because the pain is actually a pleasure. Surprising?

So, masochist trait is in everybody, only the levels are different. Some of you like to be spanked during intercourse, some of you like to get extreme and do bondage and get yourself handcuffed or even get pierced like what i saw in magazines (woops!), or some of you just can't stop thinking about love over and over. Bottomline: You're a masochist!!

So, is there any solution to this self torturing? I don't know. I wish I knew, but it's too comfortable in this bed with these love songs from the stereo. I couldn't care less.

Have fun!